Setiap Butir Nasi Itu Istimewa

Setiap orang mempunyai selera masing-masing pada makanan. Cara kita dibesarkan sangat besar pengaruhnya. Jalan kehidupanku memiliki banyak cerita yang mempengaruhi seleraku terhadap makanan.

Masa kecil sangat berwarna. Ortuku yang petualang, pekerja serabutan, menjadi warna dalam pembentukan karakterku, termasuk selera.

Masa kecil saat ortu masih serumah dengan kakek nenekku dan om serta tante-tanteku, menu kami lumayan bergizi. Walau ortuku pas-pasan, mamaku mengutamakan gizi dibanding hal-hal lainnya. Beruntungnya juga, masih ada subsidi kakek nenek lah. Daging dan telor masih kukenal, namun satu hal yang selalu ada, dibagi, jadi jumlahnya limited ya gaez.

Saat kami tinggal di sebuah pulau di NTT, Solor namanya, kampung halaman abaku (aku manggil bapakku aba). Kami sering makan hasil laut dan makanan pokok selain nasi, seperti jagung titi. Menunya misalnya, jagung titi (jagung yang dipipihkan) dengan ikan (paus/hiu) atau gurita dikeringkan, nasi kalau ada, ikan segar, bahkan mudu, asinan perut ikan segar. Mudu buatan mama yahud beudz, sesendok aja bisa abis nasi sepiring hu umh ga bohong. 

Ada pula menu cemilan yang namanya 'tai minyak', jorok ya namanya, tapi enak, gurih, alami, merupakan hasil samping dari pembuatan minyak kelapa secara tradisional. Di sini cukup prihatin sebenarnya klo pembandingnya hidup kita kini. Bakso, mi ayam, es cendol mana ada, hahahah. Mau beli buah yang bener aja (banyak buah anehnya, jeruk yang kalo digigit, gigit balik saking asemnya, buah semangka, asin coba hahaha, apa karena kami tinggal tepi pantai) kami harus berjalan kaki berkilo kilo ke pasar. Ada tukang jual kue tradisional keliling, anak kecil suaranya besar dan lantang, rajin deh, bikin sendiri itu. Padi di sini di tanam di bukit. 

Di sini selera itu letaknya di lapar, aku pelajari. Pernah aku lapar sekali. Mamaku sedang tidak ada, mungkin ke pasar, kan pasarnya jauh buangets, ga ada angkot ya gaez. Semua persediaan habis. Untung ada nasi, ada aba, kami lapar, aba ngajak makan bersama apa coba? Aq memandang heran apa yang sedang dilakukan abaku. Mengambil sepiring nasi (pera ya gaez) lalu dituangi air anget. Dia tahu aq heran dan tak beranjak dari tempatku jongkok, dapur kami lantai tanah ya gaez, seingatku hehe, lalu dia contohkan makan dengan lahap, sambil bilang sedap kok, akupun mencoba, perut yang lapar bilang pada lidahku, iya sedap. Dan aku berlomba makan nasi air dengan abaku. Ya kalah sih gaez secara telapak tanganku mungil imut kan hahahaha, I was just a four year old girl.

Saat kami tinggal di Larantuka (masih di seputaran NTT tapu beda pulau) maupun di Sabah Malaysia, selera kami masih sederhana. Dan gaez aq dah bisa masak sendiri di usia 6 tahun, tuntutan sulung beradik banyak ortu sibuk serabutan gaez. Mama selalu setok tepung dan telor. Saat lapar sehabis main anak seumuranku mana sabar nunggu nasi mateng kan gaez. Biasanya masak telorlah, 2-3 biji sekali nyemil. Klo ga ada telor, tepung kasih gula atau garam, air, aduk2, goreng atau panggang, kenyang. Enak enak aja gaez, yang penting, lapar, hahahaha. 

Kami sering kok nyari lauk ke muara, itu, ujung sungai dekat laut, airnya payau. Bawa nasi sepanci kecil, dibungkus serbet, pancinya, jangan nasinya wkwkwk. Bermotor, abaku, aq di tengah, adek kedua dan tiga di paha kanan kiri aba, adik keempat digendong ibu yang duduk di ujung jok, di atas motor honda ulung super bandel, ampe ban aja pernah diisi rumput sama aba hehehe.

Ampe di muara, dapet ikannya luamaaa gaez, wes luaper gaez. Eh dapetnya 3-4 biji ikan, small gaez, dan beberapa biji udang (eh kagak pantes gue pake kata ekor gaez, wong belum tumbuh ekornya, masih small hahahaha). Dibakar dengan sabar oleh mama tercintah. Makan dah kita, dengan iwak sedumil tapi istimewah, mana disuapin oleh tangan berkah mama tercintah, ben cukup and adil gaez, jadi disuapin dah semua mulut piyik2 ini. Lahap gaez, wong suedap, laper gaez, tapi suwer itu syedap.

Berlanjut ya gaez, dah pening aq mengingat-ingat makanan-makanan tersedap dalam hidupku, hehehe.

(11 Agustus 2020)